Selasa, 30 November 2010

makalah kebudayaan


BAB I
PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG
Kebudayaan selalu terbuka dan cair sifatnya (Kayam, 1987:309). Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis. Orang-orang yang terlibat dalam suatu kebudayaan selalu memproses unsur yang datang dari luar yang dianggap cocok dengan kebudayaan mereka sekaligus juga mempertahankan unsur-unsur lama yang dianggap masih sesuai untuk mereka. Pembangunan – ditinjau dari sudut dialektika perkembangan masyarakat – adalah metodologi sekaligus prasarana pengembangan struktur dan kebudayaan masyarakat. Oleh Umar Kayam, pembangunan dengan sendirinya akan menyeret pada perubahan sosial. Masyarakat memiliki keluwesan untuk menciptakan prasarana dan sarana baru sesuai dengan sistem nilai mereka. Meski begitu, pembangunan menghadapi dilemanya sendiri khususnya dilema yang dihadapi oleh masyarakat berkembang (agraris-tradisional) menuju proses perubahan ke masyarakat modern-maju (industri). Dilema itu antara tercerabut atau musnahnya sama sekali nilai-nilai budaya tradisi untuk diganti oleh nilai-nilai baru yang modern dan berkiblat pada nilai-nilai industri dan organisasi modern. Namun, sebenarnya pilihan itu tidak lah tidak dapat ditawar lagi. Ada media-media yang dapat menjembatani memperhitungkan sejak semula strategi pembangunan sebagai proses kebudayaan.
Artikel Arturo Escobar mengkaji pembangunan pada negara-negara Dunia Ketiga dan peran antropolog dalam proses tersebut. Sejak pertengahan tahun 1970-an, antropolog mulai memasuki ranah terapan dengan ikut dalam proyek-proyek pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga. Banyak dari mereka terjun dalam ranah terapan sebagai ahli kebudayaan dalam aktivitas pembangunan. Dalam pandangan penulis, antropolog pembangunan justru memperkuat model-model pembangunan yang etnosentris dan mendominasi. Jika dulu proyek-proyek pembangunan dihadapkan pada kegagalan pembangunan dengan pendekatan yang terorientasi ekonomi, maka proyek-proyek pembangunan yang kini difokuskan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan di negara-negara berkembang lebih difokuskan pada aspek kebudayaan. Kecenderungan baru ini lah yang membuka peluang lebar pada antropolog-antropolog dalam program-program pembangunan. Mereka berargumen bahwa keberadaan mereka membantu mengedepankan faktor-faktor sosial dan budaya dalam aktivitas pembangunan. Namun, Escobar mempertanyakan apakah benar para antropolog memiliki kontribusi unik terhadap pembangunan karena kelebihan pengetahuan (kebudayaan) mereka? Hal ini disebabkan argumentasinya bahwa antropolog pembangunan terlalu mengikuti sistem pengetahuan dan kekuasaan yang terpusat pada Barat.
Antropologi pembangunan dan sejarah antropologi terapan

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Kebudayaan
            Secara etemologis kebudayaan berasal dari bahasa sangsekerta “budhayah”, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan ahli antropologi yang memberikan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiyah adalah E.B. Tylor dalam buku yang berjudul “primitive culture”bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang di dapat manusia sebagai anggota masyarakat. Pada sesi yang agak berbeda koentjaraningrat mendifinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus di dapatkanya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dari beberapa pengertian tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
            Secara lebih jelas dapat di uraikan sebagai sebagai berikut:
1.      kebudayaan adalah segala sesuatu yang di lakukan dan di hasilkanmanusia,dan meliputi:
a.       kebudayaan material (bersifat jasmaniyah ), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya kendaraan, alat rumah tangga, dll.
b.      Kebudayaan  non material (bersifat rohaniyah), yaitu semua hal yang tak dapat di lihat dandi raba, missalnya agama, bahasa, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
2.      kebudayaan itu tidak di wariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin di peroleh dengan cara belajar.
3.      kebuyaan di peroleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat kemungkinanya sangat kecil untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya, tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia (secara individual maupun kelompok) dapat mempertahankan kehidupanya.
Jadi, kebudayaan adalah kebudayaan manusia. Hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan.
B. Pengertian Pembangunan
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
 Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah ber­kembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen­dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelan­jutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehi­dupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat.

2.1 Sistem Budaya dan Sistem Sosial pembangunan
            Sistem sosial dan sistem budaya merupakan bagian dari kerangka budaya. Ketiga system tersebut secara analisis dapat di bedakan. System social lebih banyak dibahas oleh ilmu sosiologi,sementara itu system budaya banyak di kaji dalam ilmu budaya. Dan pembangunan lebih cendrung terhadap perekonomian
            System di artikan sebagai kumpulan bagian-bagian yang bekerja bersama sama untuk melakukan suatu maksud.
            System budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan.sistem budaya atau koltural system merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan berdiri sendiri, akantetapi berkaitan dan menjadi suatu system.dengan demikian, system budaya adalah bagian dari kebudayaan yang di artikan pula adat istiadat. Adat istiadat mencakup system nilai budaya, system norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada didalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
            Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan tindakan serta tingkahlaku manusia. Proses belajar dari system budaya ini di lakukan melalui proses pembudayaan atau institutionalization (pelembagaan).dalam proses ini, individu mempelajari dan menyesuaikan alam fikiran serta sikapnya dengan adat adat, system norma, dan peraturan yang hidup dalam kebuayaan. Proses ini di mulai sejak kecil, di mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, mula-mula meniru berbagai macam tindakan. Setelah itu menjadi pola yang mantap, dan mengatur tindakanya.
            Sedangkan, system social pertama kali diperkenalkan oleh Talcott parsons.konsep stuktur social di gunakan untuk menganalisis realitas social sehingga system social menjadi mudal analisis terhadap organisasi social.konsep system social adalah alat Bantu untuk menjelaskan kelompok kelompok manusia. Merupakan suatu system.
            Parsons menyusun strategi untuk menganalisis fungsional yang meliputi semua system social. Termasuk hubungan berdua, kelompok kecil, keluarga, organisasi social, termasuk masyarakat secara keseluruhan ada empat unsure dalam system social yaitu:
(1)   dua orang atau lebih
(2)   terjadi interaksi di antara mereka,
(3)   interaksi yang di lakukan selalu bertujuan, dan
(4)   memiliki struktur, symbol, dan harapan-harapan bersama yang di pedomaninya (sulaiman, 1998).
Lebih lanjut, sulaiman mengutip pendapat parsons yang berpendapat bahwa suatu system social akan berfungsi apabila empat persyaratan di bawah ini terpenuhi. Ke empat persyaratan itu meliputi:
1.                  adaptasi, menunjuk pada keharusan bagi system system soial  untuk menghadapi lingkungan .
2.                  mencapai tujuan, merupakan persyaratan fungsional bahwa tindakan itu di arahkan pada tujuan tujuannya.
3.                  integrasi, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam system social
4.                  pemeliharaan pola pola tersenbubyi, merupakan konsep latent (sembunyi) pada titik berhentinya suatu interaksi akibat kejenuhan sehingga tunduk pada system social lainnya yang mungkin terlibat.
Lebih lanjut, parsons menjelaskan bahwa dalam suatu system social terdapat
            Dengan demikian system social dan budaya akan menjadi dasar pijakan dalam menata pembangunan nasional jika sytem social mampu merujuk pada konsep ideology social yang  mampu menjadi Agent Of Change

2.2 Budaya Suku Bangsa di Indonesia
            Terbetuknya keberanekaan suku bangsa di Indonesia disebabkan oleh awal mula kedatangan nenek moyang Bangsa Indonesia ke Nusantara. Sebagian besar penduduk di Nusantara berasal dari ras Proto Melayu dan Mongoloid (China), namun ada pula sebagian kecil berasal dari ras Negroid. Kemudian di Nusantara mereka mengembangkan kebudayaan mereka dan menyesuaikan dengan alam dan tantangan kehidupan yang ditemuinya. Sehingga di setiap daerah menciptakan tradisi dan kebudayaannya masing-masing. Meskipun mereka sama-sama berasal dari ras yang sama akan tetapi karena tantangan kehidupan, alam dan lingkungan yang bebeda sehingga melahirkan kebudayaan yang berbeda pula. Ada yang mendapat tantangan hidup di tepi laut, di gunung-gunung batu, di lahan-lahan yang subur, ataupun di daerah rawa-rawa. Di tempat mereka yang baru masing-masing menghadapi tantangan hidup yang berbeda, sehingga untuk menjawabnya mereka pun mencari cara yang berbeda pula. Demikian pula dalam menanggapi alamnya mereka pun melakukan dengan berbagai cara.
            Meskipun serumpun orang Bugis, Makassar, Mandar, mungkin Toraja memiliki perbedaan kebudayaan dan pola kemasyarakatannya. Seperti halnya di Sumatra antara orang Aceh, Padang, Minang, dan mungkin Batak juga terdapat perbedaan-perbedaan. Di Pulau Jawa  dan Madura antara orang Jawa, Sunda, dan Betawi juga memiliki perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu dapat dikenali dengan mengamati perilaku/ aktifitas kehidupan mereka dalam memberikan jawaban terhadap tantangan hidupnya dan menanggapi alamnya.
Dalam perkembangan kemudian masing-masing suku bangsa yang sudah mulai terbentuk tersebut kemudian pula mendapat pengaruh dari kebudayaan luar. Mulanya mendapat pengaruh kebudayaan Hindu yang datang dari India, kemudian kebudayaan Islam yang datang dari Arab, dan kebudayaan Eropa yang dibawah oleh bangsa penjajah yang mencari rempah-rempah.
            Masing masing kebudayaan tersebut meninggalkan anasir-anasir kebudayaannya dalam masyarakat di Nusantara. Kebudayaan Hindu, Islam, dan Eropa yang juga membawa agama Kristen dapat ditemukan pada suku bangsa yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hampir di seluruh Nusantara bekas kebudayaan Hindu masih dapat dijumpai hingga dewasa ini terutama pada masyarakat Jawa dan Bali. Di sana kita masih dapat menemui candi-candi dan berbagai ritual dalam penganut agama Hindu.
Kebudayaan Islam demikian pula dapat ditemukan di hampir semua pelosok Nusantara. Di mana-mana terdapat masjid dan berbagai tradisi dan ritual/ibadah menurut ajaran Islam. Demikian halnya dengan pengaruh kebudayaan Barat dan Kristen, yang biasanya dikenal sebagai pelopor kebudayaan modern.


2.3 Multi Etnik dan Pembangunan Bangsa


Bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki etnik yang cukup banyak seharusnya menyadari bahwa bangsa ini memiliki banyak manusia unggul di dalamnya. Kebudayaan harus dipandang secara relatif, bahwa semua kebudayaan memiliki keunggulannya masing-masing yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
Dalam konfigurasi kebudayaan Indonesia ini ada suku bangsa yang unggul karena kemampuannya mengatasi tantangan hidup di laut sehingga ia dikenal sebagai suku bangsa yang gagah perkasa di laut. Tetapi ada juga suku bangsa yang unggul karena mampu menghadapi tantangan hidupnya di gunung-gunung batu atau di hutan-hutan, dan ada pula suku bangsa yang unggul menghadapi tantangan hidupnya di daerah rawa-rawa. Masing-masing etnik ini unggul di alamnya masing-masing dan belum tentu unggul jika mereka dipertukarkan ke alam yang lain.
Dengan demikian maka terlihatlah keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Hal ini harus disadari oleh masing-masing etnik bahwa mereka memiliki kelebihan dan kekurangan, demikian halnya dengan etnik lainnya mereka pun pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Pandangan seperti ini dalam kebudayaan disebut sebagai relativisme kebudayaan.
Menyadari relativisme ini maka sudah semestinya dibangkitkan suatu sikap hidup untuk menyatukan semua potensi unggul yang dimiliki masing-masing suku bangsa. Setiap kelebihan atau keunggulan suatu suku bangsa dijadikan suatu kekuatan bersama untuk menutupi kelemahan suku bangsa lainnya dan demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian kekuatan Bangsa Indonesia yang besar ini akan menjadi lebih unggul dengan adanya hubungan saling kerjasama dan bersatupadu.
Masing-masing etnik yang ada di Nusantara ini harus menunjukkan rasa bangga terhadap suku bangsanya karena menyadari memiliki keunggulan, namun pada saat yang bersamaan ia pun harus menunjukkan rasa hormat dan penghargaannya kepada suku bangsa yang lain yang juga memiliki keunggulan yang berbeda dari dirinya yang akan mengisi kekurangannya.
Berbekal kesadaran ini proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan pun akan terjadi dengan baik. Adalah bukan dosa bagi suatu kebudayaan mengadopsi kebudayaan lain untuk dia miliki sebagai kebudayaannya dan sebaliknya memberikan kebudayaan yang baik yang dimilikinya kepada kebudayaan lain untuk dimiliki pula. Saling beri dan menerima kebudayaan yang baik adalah suatu hal yang lazim terjadi dalam pergaulan kebudayaan di muka bumi ini.
Dengan kesadaran seperti ini maka setiap etnik akan menjaga dirinya dan juga menjaga etnik lain yang juga adalah bagian dari keutuhan dirinya. Jika hal ini dapat tercipta kehidupan setiap suku bangsa akan senantiasa terjaga dengan baik karena selain ia menjaga dirinya ada pihak lain yang ikut melindunginya pula.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar