Minggu, 28 November 2010

pancasila

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, disertai puja-puji kami persembahkan kepada-Nya jua. Shalawat sejahtera bagi nabi besar Muhammad SAW beserta handai tolan, sanak kerabat, sahabat rasul yang mulia, sampai pada kita para pengikutnya. Hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan JudulPancasila sebagai Etika Politik;
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas kelompok
Semester Ganjil Mata Kuliah Pendidikan Pancasila di Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan.
 Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan serta dorongan dari berbagai pihak, kecil kemungkinan makalah ini tidak dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
Yth. dosen pembimbing mata kuliah  Pendidikan Pancasila
Yang tercinta
Sahabat-sahabat seperjuangan di kelas SI beserta seluruh Mahasiswa/i jurusan teknik system informasi angkatan 2010/2011 yang telah cukup banyak membantu.
Semoga Allah SWT akan memberikan balasan yang berlipat ganda. Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya.
Akhir kata kami mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb








DAFTAR ISI




Halaman judul                                                                                                  
Kata pengantar…………………….……………………………………………….…1
Daftar isi ………………………………….………….……………………………....2
Bab I Pendahuluan …………………………………….….……………………….…3
Bab II Pembahasan …………………………………….………….…………………5
a.       Pancasila ……………………………………….…………….…………..5
b.      Etika ………………………………………….……….………………….6
c.       Politik ………………………………………….………………………..10
Bab III Penutup …………………………………………….……………………….12
a.       Kesimpulan …………………………………….………………………..12
b.      Kritik dan saran ………………………………….………………………13
Daftar Pustaka ………………………………………….……………………………14



























BAB I
PENDAHULUAN
Adakah terdengar lagi gaung Pancasila dalam kancah kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini? Agaknya untuk melihat hal itu, perlu penelaahan yang cukup luas sudut pandangnya. Atau dapat dikatakan bahwa jika Pancasila dilihat sebagai sebuah fenomena, maka perlu juga dilihat noumena atau esensi dari fenomena itu, dengan begitu sudut pandangnya tidak hanya dibatasi pada tataran luaran yang nampak, tetapi juga berupaya melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dan sebagai generasi yang hadir hidup di tengah pergumulan “hidup-mati’ Pancasila, sepertinya hal itu dapat dilakukan. Melihat apa yang sebenarnya terjadi pada Pancasila.
Akhir-akhir ini kita tahu bahwa, Pancasila sedang mengalami satu fase delegitimasi keberadaan, di mana sebagai sebuah pandangan hidup sebuah bangsa ia tak lagi “diakui” sebagai pedoman hidup bersama. Pancasila sekarang sudah tidak sakti lagi, meski kita masih sering mendengar tiap tahunnya pada akhir bulan September dan awal Oktober selalu ada peringatan hari Kesaktian Pancasila. Reformasi 1998-1999 telah mencabik-cabiknya, dan melabelinya sebagai kaki tangan sebuah rezim kekuasaan, pada masa-masa Orba (orde baru). Pancasila menjadi korban. Korban yang diperalat, dan korban untuk dijadikan kambing hitam. Begitulah nasib Pancasila.
Ada satu hal yang selama ini menghantui penulis, terkait dengan Pancasila ini. Apakah Pancasila benar-benar ada dalam diri bangsa ini, sejak awal dirumuskan hingga sekarang ini, menjadi pedoman dan cara pandang bersama sebagai sebuah bangsa yang beraneka ragam? Atau ia hanyalah sebuah slogan yang didengungkan sebagai sebuah pilihan-pilihan politis para founding father kita untuk melegitimasi atau mengukuhkan keberadaan bangsa Indonesia. Dengan Pancasila adalah produk ide-ide yang sebenarnya tidak pernah diperlukan. Hanya sebagai legitimator yang sekali-kali digunakan kala dibutuhkan. Tak pernah benar-benar menjadi pedoman hidup bangsa ini.
Dengan cara lain kita dapat melihat hal itu. Pertama, Pancasila ada sebagai pedoman bangsa setelah dirumuskan dan ditetapkan sebagai pedoman hidup bangsa ini.
 Kedua,Pancasila sebenarnya telah hadir dalam kelokalan-kelokalan bangsa ini yang kemudian disintesiskan dan dinyatakan sebagai sebuah pedoman hidup bersama oleh kelompok-kelompok lokal yang telah menyatu. Jiwa dulu atau badannya yang ada?
Adakah terdengar lagi gaung Pancasila dalam kancah kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini? Agaknya untuk melihat hal itu, perlu penelaahan yang cukup luas sudut pandangnya. Atau dapat dikatakan bahwa jika Pancasila dilihat sebagai sebuah fenomena, maka perlu juga dilihat noumena atau esensi dari fenomena itu, dengan begitu sudut pandangnya tidak hanya dibatasi pada tataran luaran yang nampak, tetapi juga berupaya melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dan sebagai generasi yang hadir hidup di tengah pergumulan “hidup-mati’ Pancasila, sepertinya hal itu dapat dilakukan. Melihat apa yang sebenarnya terjadi pada Pancasila.
Akhir-akhir ini kita tahu bahwa, Pancasila sedang mengalami satu fase delegitimasi keberadaan, di mana sebagai sebuah pandangan hidup sebuah bangsa ia tak lagi “diakui” sebagai pedoman hidup bersama. Pancasila sekarang sudah tidak sakti lagi, meski kita masih sering mendengar tiap tahunnya pada akhir bulan September dan awal Oktober selalu ada peringatan hari Kesaktian Pancasila. Reformasi 1998-1999 telah mencabik-cabiknya, dan melabelinya sebagai kaki tangan sebuah rezim kekuasaan, pada masa-masa Orba (orde baru). Pancasila menjadi korban. Korban yang diperalat, dan korban untuk dijadikan kambing hitam. Begitulah nasib Pancasila.
Ada satu hal yang selama ini menghantui penulis, terkait dengan Pancasila ini. Apakah Pancasila benar-benar ada dalam diri bangsa ini, sejak awal dirumuskan hingga sekarang ini, menjadi pedoman dan cara pandang bersama sebagai sebuah bangsa yang beraneka ragam? Atau ia hanyalah sebuah slogan yang didengungkan sebagai sebuah pilihan-pilihan politis para founding father kita untuk melegitimasi atau mengukuhkan keberadaan bangsa Indonesia. Dengan Pancasila adalah produk ide-ide yang sebenarnya tidak pernah diperlukan. Hanya sebagai legitimator yang sekali-kali digunakan kala dibutuhkan. Tak pernah benar-benar menjadi pedoman hidup bangsa ini







BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pancasila
Pancasila adalah ideologi yang harus dipraktekan oleh para pemimpin dalam berdemokrsi
Abdul Hadi W.M. dalam makalahnya menyatakan bahwa Pancasila adalah landasan ideologis berdirinya NKRI merupakan sekumpulan sistem nilai. Sebagai sistem nilai yang dijadikan pedoman hidup sebuah bangsa Pancasila adalah jiwa yang menghidupi kehidupan bangsa ini. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa ada pada puncak pedoman hidup bangsa Indonesia. Dan seperti apa yang dikatakan Abdul Hadi W.M. sila ini menjadi pengayom bagi sila yang lain dalam prakteknya. Semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat kerakyatan, dan dan semangat keadilan berjalan dengan berlandaskan pada Ketuhanan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sempit atau ke dalam, sila ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab. Dan secara luas, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibeda-bedakan.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini paling tidak menggambarkan bahwa bangsa ini adalah satu keluarga besar yang di dalamnya didasari adanya kesadaran perbedaan satu sama lain. Dari perbedaan inilah sebenarnya bangsa ini ada. Bangsa ini adalah mozaik yang terdiri dari fragmen-fragmen yang membentuknya.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan. Satu nilai yang menjadi ciri bangsa ini adalah kebersamaan dan suka bermusyawarah dalam menentukan satu kebijakan demi kepentingan bersama. Di dasari oleh tiga sila sebelumnya.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan di sini seperti yang dikatakan Abdul Hadi W.M., adalah Keadilan yang mencakup tiga bentuk keadilan:
 (1)Keadilan distributif: menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3) Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik.
Dan jika kemudian, jika yang hadir terlebih dahulu adalah badannya, maka kita memang perlu melihat kembali sila-sila Pancasila. Sudahkan hal itu sesuai dengan watak dan pribadi bangsa ini. Atau paling tidak sudah cukup dapat menampung watak dan kepribadian itu.
Terakhir, yang bermasalah apakah Pancasila ataukah manusia-manusianya, masih menjadi pekerjaan rumah, yang bukan hanya diteliti dalam tataran teoritis atau sekedar wacana saja. Namun, juga dalam tataran praktisnya. Atau bahkan kita melepaskan itu semua, didasari ketakberdayaan kita dalam menghadapi gerusan arus globalisasi, dengan nilai-nilai positif dan negatifnya.
B. Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingkungan masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang segala sesuatu yang ada sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui dan tentang yang transenden.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi. dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahass tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu,
            Atau bagaimana kita harus menggambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum merupakan prinsip- prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individu yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam­
hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada
pada umumnya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai "susila" dan "tidak susila", "baik" dan "buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika
banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan, tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.

Filsafat diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya "keberhargaan' (Worth) atau 'kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena,229)
Didalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada susuatu itu.
Suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan nilai yang dilakukan o1eh subjek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsayang dan kepercayaan.
Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah dan baik
Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Maka nilai bermakna das Sollen, bukan das-Sein yang artinya bahwa das Sollen harus menjelma menjadi das sein yang ideal harus menjadi real yang bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut dan penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongan tersebut.

Notonagoro membagi nilai menjadi tiga maacam, yaitu:

1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.

2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.

3) Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohanimanusia nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam yaitu :

a) Nilai kebenaran

b) Nilai keindahan

c) Nilai kebaikan

d) Nilai religius


Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian,_tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang sistematikaMaha Esa sebagai dasar sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan hirarkhis yang dimulai dari sila Ketuhanan yang (Darmodiharjo,1978).
Nilai religius merupakan suatu ni!ai yang tertinggi dan mutlak, artinya nilai religius tersebut heirarkhinya di atas segala nilai yang ada dan tidak.dapat.di jastifikasi berdasarkan akal manusia karena pada tingkatan tertentu nilai tersebut bersifat di atas dan di luar kemampuan jangkauan akal pikir manusia.
Dalam kaitannya dengan devisiasi maka nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis:

a) Ni1ai Dasar
Nilai ini memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra manusia, namun dalam realisasinya ini berkaitan dengan tingkah laku atau segala aspek kehidupan manusia yang bersifat nyata namun nilai memiliki nilai dasar, yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan obyektif segala sesuatu misalnya hakikat Tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan, maka nilai tersebut bersifat mutlak karena hakikat Tuhan adalah kausa prima, sehingga segala sesuatu diciptakan berasal dari Tuhan. Jika nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia, maka nilai-nilai tersebut bersumber pada hakikat kodrat manusia sehingga nilai-nilai dasar kemanusiaan itu dijabarkan dalam norma hukum maka diistilahkan sebagai hak dasar. Hakikat nilai dasar itu berlandaskan pada hakikat sesuatu benda, kuantitas, kualitas, aksi, relasi, ruang maupun waktu, sehingga nilai dasar dapat disebut sebagai sumber norma pada gilirannya direalisasikan.dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis. Walaupun dalam aspek praksis dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak

dapat bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma serta realisasai praksis tersebut.

b) Nilai Instrumental
Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Bilamana nilai instrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka suatu norma moral. Jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi ataupun negara maka nilai-nilai instrumental merupakan suatu arahan kebijaksanaan atau strategis yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
c) Nilai praksis
Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata, sehingga nilai praksis ini merupakan perwujudan dari nilai instrumental namun tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak dapat bertentangan. Artinya oleh karena nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem perwujudannya tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa nilai adalah kualitas dari suatu yang bermaanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi., dalam bersikapdan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.
Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan dengan harapan, cita-cita , keinginan, dan segala sesuatu pertimbangan internal manusia. Nilai ini bersifat kongkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan ole subjek dan bersifat objektif maka nilai tersebut telah melekat pada sesuatu terlepas dari pehnilaian manusia.

Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan serta menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya diformulasikan dalam tingkah laku secara kongkrit. Terdapat berbagai macam norma dan berbagai macam norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan aleh suatu kekusaan eksternal misalnya penguasa atau penegak hukum. Selanjunya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. t
Moral merupakan suatu ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Adapun di pihak lain etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut (Krammer, 1988 dalam Darmodihardjo, 1996). Menurut De Vos (1987), bahwa etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan yaitu pengertian moral, sehingga etika pada hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.
Ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobil itu sendiri.

C.Politik
Pertarungan politik para elit politik akhir akir ini sangat merisaukan , semakin terbuka saling olok saling nyindir ,bahkan saling lempar pantun yang jika kita rasa kan sebagai rakyat kurang elok .tidak seharus nya seorang pemimpin saling hujat dan jauh dari santun , yang satu mengatakan boikot yang lain menjawab tidak kesatria . .
 Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat,
 serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak poltisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”.
Politik“KebunBinatang”
            Memang, pada sejak zaman dahulu, para budayawan dan filosof kerap menggunakan kisah-kisah perumpamaan “dunia binatang”. Sastrawan Inggris George Orwell mengarang fabel yang diterjemahkan almarhum Mahbub Djunaidi berjudul “Binatangisme”. Bahkan suatu ketika, Mahbub sendiri menulis kolom “Politik Kebun Binatang” untuk mengkritik tingkah laku politisi kita masa itu. Tentu saja politisi kita bukan binatang, walaupun ada istilah homo hopini lupus. Politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, bukan melakukan “pembenaran
Untuk itu marilah kita mencoba kembali pada Pancasila sebagai Etika Politik Bangsa












BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
           Power tends to corrupt dan Ethics has no place in politics adalah dua adagium klasik dalam textbook ilmu politik yang ingin menunjukkan betapa mudahnya kita terperangkap pada kecenderungan berpolitik tanpa etika. Sebaliknya, adagium ini pulalah yang membuat kita untuk selalu tidak jenuh dan letih meneriakkan perlunya etika politik dalam mengemban tugas dan tanggung jawab bermasyarakat dan bernegara. Dalam teori politik, etika politik bukanlah sekadar gagasan himbauan moral yang naif bila dikaitkan dengan kehidupan politik praktis seperti sinyalemen adagium di atas. Minimum ada tiga prinsip yang secara metodologis dapat dijadikan untuk mengukur muatan etika politik dari sebuah politik atau pun kebijakan publik4.
Prasyarat pertama adalah prinsip kehati-hatian (principle of prudence), sebuah prinsip yang “mempertanyakan” secara kritis tentang latar belakang berikut “pemihakan” dari sebuah tindakan ataupun kebijakan dari para pemegang kunci kekuasaan politik
. Dalam prinsip ini, sebuah tindakan yang memiliki motif untuk “memihak” kepentingan lebih luas dibanding dengan kepentingan sempit partai atau diri sendiri akan memiliki nilai etika yang jauh lebih tinggi dan terpuji.Prinsip kedua adalah prinsip tatakelola (principle of governance) yang berhubungan dengan masalah etika di dalam “proses” pengambilan keputusan ataupun penetuan tindakan. Prinsip ini menyangkut pengukuran terhadap standar-standar yang digunakan di dalam menentukan sebuah tindakan ataupun kebijakan. Kesadaran akan pentingnya akuntabilitas, transparansi dan soladiritas, secara otomatis, akan melahirkan perilaku dan keputusan yang jauh lebih etis.
Prinsip yang ketiga adalah prinsip pilihan rasional (principle of rational choice) yang secara metodologis menimbang secara seksama atas manfaat dan biaya (costs and benefits) dari sebuah tindakan ataupun kebijakan dalam rangka kepentingan umum. Sebuah tindakan atau keputusan yang memiliki manfaat yang sangat tinggi dan signifikan
bagi kepentingan umum jauh lebih etis dibanding tindakan yang hanya melayani kepentingan pribadi ataupun kepentingan manuver partai politik yang sesaat.       
Dalam kehidupan politik sehari-hari, baik biaya (costs) maupun manfaat (benefits) tidak selalu hadir dalam bentuk fisik-material. Namun juga kedua aspek tersebut dapat diurai dalam bentuk nilai-nilai simbolik seperti trust, stabilitas, soladiritas, ataupun loyalitas. Dari uraian tersebut, kita perlu mengingatkan pentingnya muatan etika politik sebagai acuan bersama bagi jagat perpolitikan kita.
B.     Kritik dan Saran               
Setidaknya ada tiga muatan etika politik yang saya usulkan. Pertama, watak baru yang berakar budaya, berwatak progresif dan memihak bangsa. Kedua, kebhinnekaan, kebersamaan, kerukunan, dan kebangsaan Indonesia perlu dirajut ulang serta Pancasila ditegakkan kembali. Ketiga, membela rasa keadilan rakyat, mengabdi Ibu Pertiwi demi kesejahteraan rakyat dan kemuliaan negara.                                                                                                                                                                                               
































DAFTAR PUSTAKA

Pidato Dies yang disampaikan dalam Temu Akbar Alumni Dies Natalis Ke-40 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Semarang, 3 Agustus 2008.
1 M Alfan Alfian, “Dari Perbendaharaan Etika Politik”, The Akbar Tandjung Institute, Jakarta, 8 Juli 2008.
2 Benny Susetyo Pr. “Etika Politik & Politisi Reformasi”, Sinar Harapan, Tajuk Rencana, 23 Mei 2005.
3 Donny Gahral Adian, “Menyoal Dimensi Kultural Demokrasi“, Kompas, Opini, 22 Juli 2002.
4 Kastorius Sinaga, “Tentang Etika Politik“, Kompas, 9 April 2008.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar